Ilustrasi (Foto: asahsaya.com)

Saudaraku, mengapa kurikulum sekolah yang terlalu berpusat pada kelas harus beringsut ke arah pembelajaran yang lebih memperhatikan keragaman individu?

Jawabannya bisa menoleh buku Rethinking School karya Susan Wise Bauer (2018).

Perlu diingat bahwa sistem kelas yang tersusun berdasarkan kelompok umur bukanlah suatu keniscayaan, melainkan pilihan. Pada awal sejarah pendidikan di kebanyakan negara, kelas disusun bukanlah berdasarkan kesamaan umur, melainkan kesamaan minat akan mata pelajaran. Alhasil, orang dari ragam usia bisa dalam kelas yang sama sejauh meminati pelajaran yang sama. Dalam tradisi pesantren, hal itu disebut dengan praktik bandongan (wetonan).

Sistem kelas berdasarkan kelompok usia mulai diperkenalkan di Prusia (Jerman dan sekitarnya) awal abad ke-19, sebagai strategi untuk merestorasi kekuatan militer Prusia pasca kekalahan yang memalukan dari tentara Perancis di bawah Napoleon pada perang Jena dan Auerstadt (1806). Dalam rangka menanamkan semangat tempur dan menumbuhkan kembali kebanggaan Prusia sebagai bangsa gemar berperang, para pemimpin Prusia mengorganisasikan sekolah seperti unit-unit militer.

Siswa dikelompokkan ke dalam peleton-peleton berdasarkan kesamaan umur di bawah komando seorang kepala skuadron; suatu sistem persekolahan sebagai transisi lurus menuju pelayanan militer. Karena pertimbangan efisiensi, sistem sekolah seperti itu lantas diadopsi berbagai negara, hingga saat ini seolah menjadi norma.

Meski sistem kelas berdasarkan kelompok usia sulit dihindari, sistem pembelajaran hrs mempertimbangkan perbedaan jenis kecerdasaan dan preferensi siswa.

Kalaupun di tingkat sekolah menengah belum ada penjurusan, tak berarti setiap siswa mesti mengikuti pelajaran secara seragam. Di tingkat menengah atas, mata pelajaran wajib bagi semua siswa dibuat ringkas, untuk memberi lebih banyak ruang bagi pelajaran pilihan. Inilah sistem persekolahan yang menjadi fondasi bagi pengembangan wawasan generalis dengan keahlian spesifik.

Sistem sekolah seperti itu juga bisa mengurangi keperluan akan sekolah kejuruan. Setiap siswa telah terkondisikan menjadi manusia pembelajar yang fleksibel; yang dengan kesadarannya sendiri menekuni bidang studi-keahlian yang sesuai dengan passion-nya.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.