Ilustrasi hate speech/Law-Justice.co

Kebencian mengharu biru politik nasional hampir sepanjang 2017. Tegangan politik tiada henti menghunuskan sikap permusuhan terhadap yang berbeda sebagai yang harus dipencilkan.

Pencerdasan politik kiranya menerbitkan harapan tentang diskursus kritis yang akan menghidupi pesta demokrasi tahun mendatang sehingga kita bisa menyatakan selamat tinggal kepada politik kebencian.

Sejak Pemilu 2014, politik Indonesia semakin akrab dengan mobilisasi kebencian; ia terus- menerus dipupuk hingga menggunung pada 2017. Kebencian, yang mulanya digerakkan oleh hasrat perebutan kekuasaan dalam politik, merangsek dalam sisi-sisi lain kehidupan dan mengancam sosiabilitas kita. Riak-riak konflik meluber menggenangi ruang-ruang publik menggoyang harmoni sosial.

Politik kebencian mengguyur energi begitu besar untuk menampik yang berbeda. Di dalamnya sekat-sekat eksklusi dioperasikan untuk menghasilkan dukungan politik, terutama dari massa akar rumput. Alih-alih menghasilkan suatu solidaritas, meluasnya dukungan eksklusif semacam itu hanya menegaskan segregasi yang dikukuhkan dinding tebal pemilahan antara ”kami” dan ”mereka”.

Dalam pemilahan tersebut, perbedaan berfungsi bukan sebagai perangkat identifikasi yang memungkinkan interaksi. Berlawanan dengan interaksi, ini adalah suatu tindakan non- intercourse; ketika mereka menimbang hanya kesamaan tanpa kesediaan untuk mendialogkan perbedaan. Aspek resiprokalitas, yang mencirikan interaksi, justru diringkus lewat suatu pemencilan.

Pelingkupan terhadap yang serupa sekaligus pemencilan terhadap yang berbeda mengancam sosiabilitas. Orang cenderung kehilangan sikap ramah terhadap perbedaan karena terhasut oleh politik kebencian yang dibawa serta dalam permainan kekuasaan. Padahal, pelingkupan inilah yang menjadi modal solidaritas, pembentuk pilar Bhinneka Tunggal Ikadalam kehidupan bernegara kita.

Kebinekaan digerus kepicikan para demagog politik yang berupaya mengidentifikasi diri dengan kelompok mayoritas, mengesankan diri sebagai pembela kepentingan mereka dan menjanjikan kebijakan-kebijakan yang seolah anti-elitisme. Gaya populis ini masih ditambah satu kunci propaganda untuk mengidentifikasi pihak lain sebagai sumber masalah yang harus dimusuhi.

Marc F Plattner (2010) menyebut populisme sebagai suatu anatema bagi demokrasi, antara lain karena ancaman serius yang dibawa oleh gaya politik ini terhadap keberagaman. Bahkan, ketika populisme mengusung jargon-jargon demokrasi dan keadilan, sikap permusuhan yang ditunjukkannya telah membuka kedok-kedok politik kebencian, yang berseberangan dengan kedua nilai tersebut.

Selain persoalan ketimpangan sosial, lemahnya imajinasi politik telah membuka jalan politik kebencian yang ditumpangkan populisme. Sebagian elite politik enggan membayangkan suatu solidaritas inklusif sebagai modal elektoral mereka, sementara massa pendukung mereka sulit memikirkan pemimpin yang akomodatif terhadap beragam tuntutan. Kebencian, sedemikian rupa, telah merusak politik.

Politik harapan

Realitas yang pahit, kata Mohammad Hatta (1956), sering kali menumbuhkan ideal baru sebagai harapan bagi masa datang. Demikianlah pahitnya politik kebencian mesti segera diakhiri agar kita dapat beringsut menyongsong harapan-harapan baru politik pada masa menjelang. Suatu masa kritis yang membutuhkan lebih banyak kehendak baik agar politik mampu menumbuhkan harapan segar.

Pada 2018, kita segera menghadapi momen besar pilkada serentak, yang juga dapat dilihat sebagai pemanasan menuju Pemilu 2019. Titik ini menjadi begitu krusial bukan sekadar karena ia ajang pertaruhan kekuasaan, melainkan terutama karena ia strategis menentukan arah perkembangan demokrasi: apakah akan terkonsolidasi atau malah berbalik arah.

Politik kebencian telah meninggalkan celah lebar pembelahan sosial, yang mengindikasikan suatu kemunduran demokrasi. Tantangan besar memoderasi konflik politik kini beriringan dengan pertanyaan tentang bagaimana memacak suatu pendidikan politik yang menghidupkan semangat berdialog, bukan bertikai. Inilah sisi cerdas yang telah terlalu lama diabaikan segenap elite politik.

Di bawah terang gagasan permusyawaratan rakyat, tampak bahwa kebebasan minus literasi hanya menghasilkan partisipasi tanpa kritisi. Begitulah massa tidak kritis yang enggan untuk berdialog menjadi mudah ditunggangi para demagog. Maka, tugas penting untuk membangun fundamen kedaulatan rakyat, sesungguhnya, bermula dari langkah menggugah kesadaran kritis politik massa.

Sebanyak 171 daerah yang terlibat penyelenggaraan Pilkada 2018 bisa meretas suatu jalan baru pencerdasan politik sebagai suatu jalur yang berbeda dari pembodohan yang telah ditempuh dalam kontestasi politik Jakarta 2017. Sebab, tidak ada yang memberikan nyala lebih nyata bagi jalan permusyawaratan rakyat dibandingkan massa kritis yang cerdas mengembangkan diskursus politik.

Jika para kandidat hanya bisa mematut diri sambil mencibir kelemahan lawan, bisa dipastikan proses politik gagal menghasilkan suatu diskursus. Lebih daripada itu, jika para kandidat mampu menyodorkan alternatif-alternatif cerdas bagi massa pemilih dalam suatu diskusi publik penuh wawasan, politik Indonesia dapat menjadi lahan persemaian harapan yang tiada putus.

Dalam dua dekade usia reformasi, politik nasional semestinya tak gamang untuk memilih akselerasi pembaruan harapan. Asa bagi konsolidasi demokrasi tak mungkin digantungkan pada ambisi kekuasaan elite, tetapi pada kemampuan subyek-subyek politik untuk mengembangkan partisipasi kritis. Dengan menolak mengebawahkan nalar untuk diinjak-injak dogma, mari ucapkan selamat tinggal kepada politik kebencian.

Tulisan ini telah dipublikasi di harian KOMPAS pada 9 Januari 2018

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.