Ilustrasi: Dewan Perwakilan Daerah

Kemelut yang menimpa kepemimpinan Dewan Perwakilan Daerah melengkapi kesempurnaan krisis demokrasi di negara ini. Pemilihan umum menjadi ajang elevasi orang-orang semenjana (mediocre) untuk meraih kedudukan tinggi dengan menyingkirkan orang-orang berprestasi. Panggung politik diwarnai kegaduhan remeh-temeh. Jabatan menjadi wilayah transaksional padat modal. Undang-Undang disusun dengan mengikuti penawar tertinggi. Supremasi hukum tersungkur di bawah logika kepentingan kedudukan dan fasilitas. Kesenjangan lebar membentang antara idealitas dan realitas demokrasi, antara apa yang dipikirkan warga dengan apa yang dilakukan oleh para penyelenggara negara.

Setiap sistem politik harus mencapai keseimbangan antara dua aspek fundamental: legitimasi dan efisiensi. Legitimasi menyangkut tingkat kepercayaan dan persetujuan rakyat terhadap lembaga-lembaga kenegaraan dan kebijakannya. Efisiensi menyangkut seberapa cepat suatu pemerintahan dapat menemukan solusi yang tepat dalam menjawab aspirasi dan permasalahan yang muncul. Legitimasi berkaitan dengan dukungan rakyat, sedangkan efisiensi berkaitan dengan tindakan yang lugas (decisive). Demokrasi dikatakan sebagai bentuk pemerintahan yang paling sedikit keburukannya tiada lain karena usahanya untuk mencari keseimbangan yang sehat antara legitimasi dan efisiensi. Namun, demokrasi Indonesia saat ini justru diwarnai oleh krisis keduanya: miskin legitimasi dan efisiensi.

Krisis legitimasi demokrasi Indonesia ditandai oleh kecenderungan kian menurunnya tingkat partisipasi warga dalam Pemilu/Pilkada (voter turnout), kecuali di beberapa daerah yang sangat padat politisasi identitas. Kedua, kecenderungan merosotnya tingkat kepercayaan dan loyalitas terhadap partai politik dengan tingginya angka pelarian dukungan (voter turnover). Ketiga, kian tingginya tingkat ketidakpercayaan terhadap lembaga perwakilan seperti diindikasikan hasil berbagai survei yang menempatkan DPR sebagai lembaga negara yang paling tidak dapat dipercaya. Keempat, indeks persepsi korupsi tetap tinggi.

Krisis efisiensi demokrasi diindikasikan oleh kemerosotan daya respons dan daya produktivitas lembaga perwakilan dalam menyusun dan merealisasikan Program Legislasi Nasional. Kedua, kian lamanya kegaduhan dan waktu yang diperlukan untuk menegosiasikan urusan antara berbagai kepentingan di lembaga perwakilan, dengan kian besarnya potensi kebocoran keuangan negara dalam menegosiakan kepentingan-kepentingan tersebut, seperti tercermin dalam persoalan E-KTP. Ketiga, kecenderungan meningginya tingkat ketidakpuasan terhadap pemimpin petahana, yang diindikasikan oleh naiknya tingkat ketidakterpilihan petahana. Keempat, kegagalan politik dalam merespons penurunan produktivitas nasional.

Kecenderungan krisis demokrasi serupa itu bisa dilukiskan dalam istilah David Van Reybrouck (2016) sebagai Sindrom Keletihan Demokrasi (Democratic Fatigue Syndrome). Di berbagi belahan dunia, respons atas sindrom ini melahirkan serangan balik dalam beragam bentuk. Ada yang menimpakan krisis ini sebagai kesalahan elit politisi dengan solusi populisme. Ada yang melihatnya sebagai kesalahan demokrasi itu sendiri, dengan menawarwan teknokrasi atau berpaling ke bentuk pemerintahan yang lain. Ada yang menyalahkan demokrasi perwakilan dengan solusi kembali ke model demokrasi Athena yang menginginkan segala keputusan lewat partisipasi rakyat secara langsung. Ada pula yang melihat hal itu sebagai akibat kelemahan dalam sistem pemilihan demokrasi perwakilan.

Akar tunjang dari segala krisis ini sesungguhnya bermula ketika input kepemimpinan dalam demokrasi yang hanya mengandalkan pada faktor keterpilihan, dengan mengabaikan soal keterwakilan. Yang jadi perhatian dalam institutional crafting hanyalah bagaimana orang terpilih, bukan memperbaiki mutu perwakilan demokratis. Akibatnya, lembaga-lembaga negara diisi oleh orang-orang yang penuh ambisi berbekal modal popularis dan kantong tebal, tapi miskin kompetensi dan tidak mencerminkan rakyat yang diwakilinya.

Prinsip demokrasi perwakilan Indonesia sesunggunya telah dipikirkan secara sungguh-sungguh oleh para pendiri bangsa dengan mengkombinasikan antara keterpilihan dan keterwakilan dalam semangat permusyawaratan. Perwujudan terpenting dari institusi permusyawaran dalam demokrasi Pancasila adalah keberaan Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR). MPR ditempatkan sebagai mandataris kedaulatan rakyat yang diharapkan dapat mencerminkan ekspresi seluruh kekuatan rakyat. Hal ini tercemin dari kemampuan untuk menampung perwakilan hak liberal-individual (perwakilan rakyat), perwakilan hak komunitarian (perwakilan golongan), dan perwakilan hak teritorial (perwakilan daerah).

Dalam demokrasi permusyawaratan, persoalan legitimasi dan efisiensi dapat dicapai sejauh demokrasi dapat berjalan dengan mengapit dua sayap: persatuan dan keadilan. Dalam Pancasila, sila kerakyatan didahului dengan sila persatuan, dan diakhiri oleh sila keadilan. Itu berarti bahwa demokrasi Indonesia mengandaikan adanya semangat persatuan (kekeluargaan) terlebih dahulu, dan setelah demokrasi politik dijalankan, pemerintah yang memegang kekuasaan diharapkan dapat mewujudkan keadilan sosial.

Negara persatuan diperjuangkan dengan menempatkan lembaga perwakilan tidak sekadar memperhatikan keterpilihan berdasarkan individual rights, melainkan juga keterwakilan golongan dan keterwakilan daerah (bukan keterpilihan orang dari daerah, apalagi orang partai yang mengatasnamakan daerah). Sedangkan negara keadilan diperjuangkan dengan menempatkan parlemen (MPR) sebagai lembawa yang menetapkan prinsip-prinsip direktif pembangunan semesta-berencana, yang bernama garis-garis besar daripada haluan negara.

Untuk itu, sistem pemilu harus dipikirkan secara sungguh-sungguh agar mampu melahirkan mutu lembaga perwakilan yang sungguh-sungguh representatif dengan diisi wakil-wakil rakyat yang memiliki hikmat kebijaksanaan untuk menjalankan permusyawaratan yang positif, bukan asal akomodasi transaksional yang negatif.

Tulisan ini telah dipublikasikan di haruan Kompas, Selasa, 11 April 2017.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.