Ilustrasi. Demi menanggulangi lonjakan kasus Covid-19 yang saat ini masih terus terjadi di Indonesia, pemerintah telah memberlakukan PPKM Darurat. (ANTARA FOTO/Aji Styawan)

Memimpin pemerintahan, apalagi dalam sistem demokrasi, selayaknya tak dijalankan dengan cara ”mendayung”, yang memerlukan otot aparatur negara yang besar. Cukup secara ”mengemudi”.

Pandemi Covid-19 menyingkap kelemahan dan kekuatan sistem sosial-politik kita. Dengan postur dan cakupan intervensi negara yang begitu besar dan luas, kapasitas institusi pemerintahan untuk mengatasi bencana wabah tampak ketidakefektifannya. Sebegitu rupa sehingga Presiden harus bongkar-pasang panitia ad hoc untuk menutupi kelembaman tersebut.

Di sisi lain, wabah ini juga memperlihatkan kekuatan modal sosial masyarakat Indonesia. Charity Aid Foundation (CAF), World Giving Index 2021, dengan laporan survei yang terkait erat dengan situasi pandemi, sekali lagi menobatkan Indonesia sebagai negara dengan masyarakat paling dermawan di dunia.

Celakanya, tata kelola politik dan kebijakan negara selama ini terlalu mengandalkan peran negara dengan memubazirkan kekuatan komunitas dan peran pasar yang sehat. Bahkan, dalam situasi pandemi yang memerlukan kecepatan bertindak, penanganannya—seperti program vaksinasi—masih sangat padat birokratisasi; meski setelah situasi kian tak terkendali, ada tendensi memperluas peran komunitas dan pasar.

Pergeseran dari Orde Baru ke Orde Reformasi tak membuat postur dan lingkup negara meramping, malahan makin tambun, dengan sumber daya manusia semenjana. Terjadi kerancuan pemahaman antara ”cakupan” dan ”kekuatan” negara; antara ruang lingkup fungsi negara dan kapasitas institusi negara untuk menegakkan aturan dan kebijakan. Padahal, seperti diingatkan Francis Fukuyama, negara dengan lingkup intervensi luas belum tentu memiliki kemampuan, bahkan sering kali tak berdaya, untuk menciptakan serta menegakkan hukum dan kebijakan.

Sebaliknya, negara dengan lingkup peran terbatas bisa saja berkemampuan untuk menegakkan hukum dan kebijakan secara optimal dan kuat. Dengan kata lain, lemah-kuatnya negara tidak dilihat dari seberapa luas peran dan fungsinya, melainkan dari kapasitas dan efektivitas institusinya.

Kita harus sungguh-sungguh mencermati kelemahan dalam tata kelola kenegaraan ini, karena tak ada negara yang dapat berkembang baik tanpa ketepatan dan kapasitas tata kelola. Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam Why Nation Fail menyimpulkan bahwa kunci perbedaan antara negara maju dan terbelakang terletak pada institusi sosial-ekonominya yang memberi perbedaan insentif pada individu dan bisnis, yang pada gilirannya bergantung pada rezim kelembagaan politik, hukum, dan kebijakannya. Stabilitas politik dan kemakmuran berjangka panjang mengharuskan negara terlebih dahulu menata kelembagaan politiknya secara baik.

Tata kelola negara yang baik harus bisa memberi keseimbangan antara peran negara, pasar, dan komunitas. Memimpin pemerintahan, apalagi dalam sistem demokrasi, selayaknya tak dijalankan dengan cara ”mendayung”, yang memerlukan otot aparatur negara yang besar. Cukup secara ”mengemudi” dengan mengaktifkan segala peran, fungsi, dan agensi secara partisipatif dan koordinatif.

Obesitas birokrasi negara Indonesia bukan saja membuat anggaran negara banyak terkuras untuk biaya rutin, yang harus dipenuhi oleh utang luar negeri. Namun, juga kurang mampu mendinamisasi daya kreatif komunitas dan pasar. Perlu haluan direktif dan peta jalan perampingan negara yang secara bertahap menuju pemerintahan terbatas tapi kuat.

Kuat tidak berarti bersifat tirani, melainkan efektif dalam menegakkan hukum, kebijakan, dan ketertiban. Peran negara lebih terbatas terutama dalam melindungi warga dari ancaman kekerasan dan marabahaya, menegakkan kontrak, membangun kapabilitas warga lewat pendidikan dan kesehatan, mengembangkan pranata inovasi-teknologi, membangun infrastruktur, serta mengusahakan keadilan distributif dan antargenerasi.

Tata ulang negara itu tidak mesti melalui perubahan radikal, secara tercerabut dari segala warisan baik dari masa lalu. Setiap inovasi memerlukan stabilitas, dan setiap stabilitas produktif menghendaki kontinuitas unsur-unsur baik dari masa lalu. Persoalan infantilitas politik Indonesia disebabkan ketidakmampuan mengakumulasikan tradisi baik dari setiap pemerintahan.

Perlu disadari, penciutan lingkup keterlibatan negara tidaklah otomatis akan membuat tata kelola kenegaraan lebih efektif. Para perancang kebijakan sering tak memiliki daya antisipatif bahwa dalam proses pengurangan lingkup negara itu, kebanyakan negara berkembang bisa menghadapi problem baru yang lebih pelik. Hal ini bisa berupa melemahnya kekuatan negara atau perlunya tipe-tipe baru kapabilitas negara yang justru belum tersedia atau masih sangat lemah. Selain itu, upaya restrukturisasi peran negara juga tidak bisa tambal sulam karena bisa menimbulkan situasi paradoks yang bisa saling menegasikan.

Maka dari itu, perlu pilihan terukur dari mana perubahan harus dimulai. Dalam hal ini, ada baiknya mendengar pengakuan Milton Friedman (2002), seorang resi ortodoks ekonomi pasar bebas. Friedman menyebutkan hingga dekade lalu, ia hanya punya tiga kata bagi negara yang sedang transisi dari sosialisme: privatisasi, privatisasi, dan privatisasi. ”Namun, saya keliru,” ujarnya. Ia lalu bertutur, ”Saya berubah pikiran bahwa memperkuat rule of law barangkali lebih mendasar ketimbang privatisasi.”

Peningkatan kapasitas negara untuk merencanakan dan mengeksekusi kebijakan serta menegakkan hukum secara tegas, bersih, dan transparan, disertai perbaikan mutu wakil rakyat dan aparatur negara yang mengawalnya, merupakan prasyarat yang diperlukan dalam kerangka perampingan peran negara.

*) Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas 15 Juli 2021.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.