Dunia pendidikan tak bisa terpisah dari politik. Sayangnya, politik dan dunia pendidikan tinggi di negeri ini kerap memperlihatkan relasi buruk. Politisasi pendidikan dan inkonsistensi kebijakan lebih sering mengemuka.

Sikap kita terhadap dunia pendidikan dan pengetahuan selama ini cenderung mendua.

Di satu sisi, hampir semua sepakat tingkat kemajuan dan kemakmuran bangsa sangat ditentukan oleh kemampuan menghadirkan modal manusia unggul yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan inovasi yang hebat. Di sisi lain, ukuran sukses pembangunan dalam pidato-pidato pertanggungjawaban pemimpin politik kita biasanya lebih menekankan variabel-variabel kuantitatif ekonomi makro, seperti PDB, pendapatan per kapita, dan infrastruktur fisik.

Nyaris tak pernah ada pidato pertanggungjawaban yang dimulai dengan melaporkan pencapaian dalam pengembangan kualitas manusia, seperti indeks pembangunan manusia, indeks inovasi nasional, tingkat literasi, numerasi, dan kemajuan kesehatan masyarakat.

Bahkan, para ilmuwan sendiri jarang memberikan perhatian pada pengaruh variabel keilmuan dan perguruan bagi kenaikan dan kejatuhan negara-bangsa.

Dalam buku Empire of Ideas (2022), William C Kirby menengarai kecenderungan diabaikannya signifikansi dunia pendidikan dari kebanyakan studi berpengaruh yang berkaitan dengan politik kekuasaan serta kebangkitan dan kejatuhan bangsa. Paul Kennedy dalam karya klasiknya, The Rise and Fall of the Great Power, lebih memfokuskan perhatian pada perubahan ekonomi dan konflik militer. David Landes dalam The Wealth and Poverty of Nations lebih memberikan perhatian pada waktu dan jam ketimbang pendidikan.

Daron Acemoglu dan James Robinson dalam Why Nations Fail menggali lebih dalam asal-usul kekuasaan, kemakmuran dan kemiskinan, tetapi kata ”pendidikan” (universitas) tak ditemukan di indeks bukunya. Bahkan, Charles Maier, dengan pengetahuan mendalamnya tentang kondisi perguruan tinggi (PT), hanya memberi sedikit ruang bagi universitas dalam membahas trajektori kebangkitan AS dalam bukunya Among Empires.

Bagaimanapun, dunia pendidikan dan pengetahuan tak bisa terpisah dari politik. Demi kemajuan dan kemakmuran bangsa, kita memerlukan hubungan politik dan dunia pendidikan yang sehat, di mana otoritas politik memberikan dukungan kebijakan dan alokasi sumber daya yang sehat bagi perkembangan dunia pendidikan. Dalam hubungan yang buruk, dunia politik melakukan politisasi, merecoki dunia pendidikan untuk kepentingan rezim jangka pendek.

Tentang dukungan politik yang sehat, Kirby mencontohkan sejarah Universitas Berlin yang didirikan sebagai senjata budaya untuk memperkuat negara Prusia setelah kalah perang dari Perancis (1806), dengan memperbarui kuasa pengetahuan. Dalam sambutannya, Raja Frederick William III mengatakan, ”Negara harus menggantikan apa yang kalah dalam kekuatan fisik dengan kekuatan intelektual.” Pada 1810 berdirilah Universitas Berlin, dengan dukungan sumber daya dan kebijakan otonomi PT, dan dengan cepat berkembang jadi pelopor universitas riset modern di dunia.

Sayangnya, politik dan dunia pendidikan tinggi di negeri ini kerap memperlihatkan relasi buruk. Politisasi pendidikan dan inkonsistensi kebijakan lebih sering mengemuka. Salah satu indikasinya, kisruh pemilihan rektor UNS. Otonomi pemilihan rektor yang melekat pada UNS sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum (PTNBH) dibatalkan oleh Permendikbudristek No 24/2023. Senada dengan itu, lewat Permen PAN dan RB No 1/2023, profesi dosen diperlakukan bak ”buruh” pengajaran dengan penjelimetan prosedur administratif yang mengganggu produksi keilmuan.

Dunia PT sendiri dengan sukarela menjatuhkan marwah keilmuannya dengan berlomba menganugerahkan gelar dan jabatan akademik kepada elite politik/pengusaha yang tak terlibat dalam perkembangan ilmu. Peningkatan pendapatan universitas bukan lewat pendalaman dan perluasan pemanfaatan hasil riset, inovasi, dan jasa keilmuan dalam kerangka pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan, melainkan lebih mengandalkan kenaikan iuran perkuliahan dan kegiatan komersialisasi non-akademik.

Peningkatan produksi karya ilmiah tak mencerminkan keseriusan terlibat dalam aktivitas riset dan inovasi, dengan segala kebaruan temuan dan kontribusinya dalam memecahkan masalah masyarakat dan industri, tetapi sekadar memenuhi prasyarat kenaikan jabatan. Di luar itu, banyak keraguan dialamatkan ke lembaga-lembaga survei opini publik akan integritas keilmuannya dalam berhadapan dengan kuasa uang dan politik.

Fantasi kelas dunia

Dengan segala bentuk inkonsistensinya, rezim pendidikan di Tanah Air beberapa tahun terakhir begitu memimpikan ”dunia fantasi”, meraih predikat universitas kelas dunia (world class university). Tak begitu jelas apa maknanya; apa pendefinisi utama suatu universitas bisa dikatakan sebagai world class.

Ketidakjelasan pemahaman itu membuat universitas lebih fokus memenuhi kriteria yang diukur dalam sistem pe-ranking-an; bahkan lebih sempit lagi sekadar jumlah produksi karya ilmiah yang terindeks Scopus dan Sinta. Lupa keluasan misi Tridharma pendidikan tinggi. Padahal, menurut Kirby, sesungguhnya pendefinisi utama world class itu tak seragam karena terkait erat dengan filosofi dan misi pendidikan masing-masing negara dan komunitas bangsa.

Otoritas China lebih menekankan aspek kontribusi universitas pada kebajikan publik sebagai penentu utama. Otoritas lain lebih menekankan peran universitas dalam inovasi. Ada pula yang lebih menekankan sentralitas tradisi. Namun, apa pun pendefinisi utamanya, impian world class itu pada akhirnya terpulang pada kualitas tenaga akademik (faculty), mahasiswa (students), tata kelola (governance), dan keterlibatan internasional.

Pertama, butuh tenaga akademik bermutu tinggi yang terus memproduksi berbagai riset. Untuk itu perlu wahana kebebasan akademik yang menjamin ”kebebasan mengajar”, ”kebebasan belajar”, dan ”kebebasan meneliti” yang memerlukan semacam kontrak sosial implisit antara universitas dan masyarakat luas. Untuk jadi universitas riset, guru besar jadi soko guru pengembangan ilmu.

Proyek penelitian yang dilakukan seorang guru besar melibatkan dosen-dosen lain dan bisa juga mahasiswa (terutama pascasarjana). Hasil penelitian beserta rujukan terkait kemudian jadi bahan perkuliahan. Dengan kata lain, mata kuliah yang ditawarkan ke mahasiswa harus ada ahlinya, bukan sekadar asal pajangan daftar perkuliahan.

Dalam kaitan itu, penentuan jabatan guru besar seyogianya bagian dari otonomi PT, karena itu terkait sumber daya alokatif yang tersedia serta chair yang dibutuhkan setiap universitas, seiring visi dan misi ilmiah pokoknya. Kewenangan universitas untuk menetapkan seseorang sebagai guru besar harus melibatkan peer review berintegritas dari dalam dan luar universitas itu.

Kedua, butuh kemampuan menarik mahasiswa berpotensi tinggi seraya merawat mutu lulusan secara produktif dan istimewa. Mahasiswa harus mampu menghubungkan keilmuan dengan realitas kehidupan; memiliki wawasan generalis dengan keahlian spesifik. Wawasan generalis dikembangkan dengan kurikulum pendidikan liberal arts yang diberikan untuk semua mahasiswa di segala jurusan di masa awal perkuliahan, disusul dengan pemilihan disiplin ilmu yang lebih spesifik di tahap berikutnya.

Ketiga, butuh sistem tata kelola yang efektif dan fleksibel, disertai kepemimpinan yang kuat dengan semangat kolegial. Maka, perlu derajat independensi dari campur tangan politik dalam urusan pemilihan rektorat dan pelaksanaan pendidikan dengan sumber daya yang memadai untuk melaksanakan visinya.

Keempat, butuh ekosistem kondusif bagi pengembangan jaringan dan keterlibatan internasional, untuk internasionalisasi temuan lokal sambil menyerap temuan dan keahlian luar. Bisa memadukan cerlang budaya lokal dan visi global.

Trayek kemajuan

Terlena oleh indikator ekonomi makro dan kesertaan Indonesia dalam kelompok G20, kita merasa seolah sudah berada di kereta kemajuan dan kemakmuran. Namun di titik zenit bonanza minyak, Landes sempat mengutip pernyataan seorang bankir dari Teluk Persia, ”Kaya adalah pendidikan … keahlian … teknologi. Kaya adalah mengetahui. Ya, kami memiliki uang. Namun, kami tak kaya.”

Jumlah PT di Indonesia sekitar dua kali lipat China yang penduduknya jauh lebih banyak. Namun, tak satu pun PT di Indonesia masuk 100 universitas terbaik dunia. Kontribusi PT dan lembaga riset dalam peningkatan input pengetahuan dan teknologi bagi pertumbuhan ekonomi juga tak signifikan, terlihat dari rendahnya total factor productivity.

Menurut Kirby, kekuatan ekonomi dan politik global terhebat dalam tiga abad terakhir juga memperlihatkan dirinya sebagai pemimpin dalam pengetahuan dan kesarjanaan (PT). Perancis mendominasi Eropa dengan kekuatan ide ketimbang kekuatan militer.

Kekaisaran Qing pada puncaknya menentukan apa arti menjadi ”terpelajar” dan ”beradab” di kawasan Asia Timur. Pada abad ke-19, Britania, Perancis dan Jerman melesat menjadi kekuatan dunia, bersamaan dengan keunggulannya dalam dunia pendidikan dan pengetahuan.

Alhasil, kemampuan negara mempromosikan pendidikan dan pengetahuan sangat vital bagi kegemilangan negara-bangsa. Meningkatkan mutu PT lebih dari sekadar usaha meningkatkan jumlah publikasi internasional. Jika kita melihat tren perkembangan universitas hebat di berbagai belahan dunia, semua tumbuh karena berhasil menyerap elemen praktik terbaik dari berbagai tradisi.

Pertama, menyerap tradisi pendidikan liberal arts dari model Oxford dan Cambridge di Inggris, terutama bagi level undergraduate. Liberal arts education memberi wawasan generalis sebelum keahlian spesifik, melalui general education dengan mengupayakan interkoneksi antardisiplin (filosofi, histori, susastra/penulisan, sosial-humaniora, pendidikan kewargaan, dan sains) untuk bisa melihat realitas secara lebih utuh, serta mampu mengintegrasikan kapabilitas keilmuan dengan keberfungsiannya dalam memecahkan problem dan tantangan kehidupan nyata, melalui penguatan critical thinking dan daya problem solving.

Kedua, menyerap tradisi research university dari model Universitas Berlin dan sejenisnya di Jerman, dimotori tenaga akademik dengan melibatkan mahasiswa. Ketiga, menyerap tradisi pelayanan publik dari model universitas di AS, seperti Universitas Harvard dan University California Barkeley.

Alhasil, untuk meningkatkan mutu PT diperlukan pengembangan Tridharma PT secara menyeluruh dan terpadu. Manakala Tridharma dijalankan secara sungguh-sungguh, publikasi ilmiah berkembang, kontribusi bagi kebajikan publik meluas, keahlian berkembang, dan kulminasi dari semua itu bisa meraih bonus, ”world class university”.

Usaha meningkatkan mutu PT juga tak bisa hanya ditempuh melalui push factor dari negara, dengan jalan pintas, seperti rencana ”mengimpor” tenaga ahli dari luar, tanpa melihat mutu pendidikan itu sendiri dalam kaitannya dengan perkembangan sektor produktif.

Selama ini banyak dikeluhkan soal rendahnya proporsi mahasiswa sains-teknologi (keinsinyuran) di PT kita. Jumlah mahasiswa (dan lulusan) bidang keinsinyuran hanya 14 persen dari total seluruh mahasiswa (sekitar 50 persen belajar teknik komputer), dengan tingkat putus kuliah paling tinggi (4,66 persen). Di Korsel proporsinya 38 persen, China 33 persen, Malaysia 25 persen. Akibatnya, kita defisit insinyur. Dari sekitar 100.000 lulusan bidang keinsinyuran, hanya sekitar 5.000 yang bekerja secara profesional sesuai bidangnya.

Alhasil, yang harus dilihat bukan hanya dari sisi penawaran, melainkan juga permintaan. Untuk mencegah mismatch antara luaran lembaga pendidikan dan dunia kerja, yang diperlukan bukan hanya pembenahan PT, melainkan juga rancangan strategi dan prioritas pembangunan ekonomi-industri yang bisa membawa Indonesia keluar dari jebakan ekonomi ekstraktif menuju ekonomi pengetahuan berbasis kreativitas dan inovasi, yang bisa memperluas ruang partisipasi ekonomi dan aktualisasi ragam potensi insani, yang memungkinkan mobilitas sosial yang luas dan inklusif.

Pada akhirnya, seperti diingatkan Ray Dalio (2021), sepanjang sejarah peradaban, kemakmuran suatu bangsa ditentukan oleh kemampuannya menghadirkan sistem pendidikan dan inovasi hebat yang dapat mempertinggi mutu manusia dalam pengetahuan, keterampilan, dan karakter. Lantas orang-orang berkualitas unggul ini bisa bekerja sama secara damai, hingga bisa melahirkan berbagai inovasi, lalu menerima modal dari pasar uang dan memiliki sarana (peralatan) yang dengan itu berbagai inovasi yang dihasilkannya bisa berkembang menjadi produksi dan alokasi sumber daya, yang menghasilkan ganjaran keuntungan.

Namun, untuk itu diperlukan sistem kepemimpinan yang kuat dengan komitmen besar pada pengembangan kualitas manusia dengan sistem tata kelola politik dan pemerintahan baik, secara terencana, terpadu, dan konsisten. Itulah tantangan bagi siapa pun yang ingin memimpin dan memajukan Indonesia.

*Artikel ini telah dipublikasikan di harian Kompas 3 Mei 2023.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.