Pandemi Covid-19 menyadarkan kita akan satu nilai yang sangat penting dalam kehidupan manusia: solidaritas. Nilai ini sebenarnya bukan sesuatu yang asing dalam kehidupan manusia, utamanya sebagai makhluk sosial. Namun, di masa pandemi, kebutuhan akan solidaritas benar-benar dirasakan.
Aksi solidaritas sangat dibutuhkan bagi orang-orang yang terinfeksi virus Covid-19. Mereka butuh persediaan makanan dan kebutuhan pokok lainnya, obat-obatan dan fasilitas kesehatan, juga informasi tentang apa yang harus mereka lakukan untuk meningkatkan imunitas dan melalui situasi ini dengan selamat.
Solidaritas juga dibutuhkan untuk mencegah meluasnya virus ini. Sebab, pencegahan penyebaran virus Covid-19 hanya bisa dilakukan dengan upaya semua pihak.
Sudah hampir dua tahun kita hidup di bawah teror pandemi. Di dunia, ratusan juta orang terinfeksi COVID-19, jutaan orang di antaranya meninggal dunia. Di Indonesia, kasus harian pernah mendekati angka 40.000 per hari. Korban yang meninggal bahkan pernah menembus angka 1.000 orang per hari. Waktu itu, sistem kesehatan nyaris kolaps dan pemerintah seperti kewalahan dalam mengoordinasikan penanganan pandemi.
Dan, ini masih ditambah dengan dampak lanjutan dari COVID-19, seperti duka dari keluarga yang ditinggal pergi, terutama anak-anak yang kehilangan orangtuanya. Juga banyaknya orang yang hidup dalam ketidakpastian akibat kehilangan mata pencaharian.
Dalam situasi seperti ini, munculnya gelombang aksi solidaritas yang melintasi sekat-sekat perbedaan dan batas wilayah memberi secercah harapan. Apalagi aksi solidaritas muncul di mana-mana dengan penggerak mulai dari individu, komunitas, organisasi, wirausaha sosial, hingga industri, dan melalui pusparagam media.
Meningkatnya solidaritas menunjukkan adanya kesadaran dalam diri masyarakat bahwa hidup manusia saling tergantung antara satu dengan lainnya. Pandemi ini—yang hanya bisa ditangani dengan kepedulian dan tindakan bersama—semakin menyadarkan pada kita bahwa manusia hanya bisa mengupayakan kesejahteraan dan keselamatan dirinya secara optimal ketika ia juga peduli pada kesejahteraan dan keselamatan sesamanya.
Baca juga: Empati dan Altruisme di Tengah Pandemi COVID-19
Makna Solidaritas
Telah banyak dibahas mengenai tumbuhnya solidaritas di masyarakat di seluruh dunia di masa pandemi ini. Dirjen WHO pada awal penyebaran COVID-19 juga menekankan solidaritas sebagai semangat utama untuk melawan penyebaran virus.
Tapi apakah solidaritas itu sebenarnya? Dan bagaimana semangat solidaritas ini dapat menjadi kekuatan bersama untuk mengatasi pandemi?
Satu hal yang jelas dari solidaritas adalah bahwa semangat ini membuat masyarakat menjadi semakin kohesif.
Ada beberapa ciri yang paling umum dalam tindakan solidaritas. Pertama, solidaritas merupakan tindakan memberi dukungan atau bantuan kepada orang lain. Dengan kata lain, solidaritas berangkat dari kesediaan seseorang untuk membantu orang lain untuk keluar dari masalah yang membelit mereka atau membuat keadaan menjadi lebih baik. Ciri ini membedakan solidaritas dengan empati. Tidak seperti empati, solidaritas tidak sekadar respons yang bersifat kognitif dan afektif terhadap apa yang dirasakan orang lain, tetapi terwujud dalam tindakan nyata untuk membantu orang lain keluar dari masalahnya.
Kedua, adanya kesamaan antara pihak yang memberi dukungan dan yang diberi dukungan, misalnya memiliki kesamaan tujuan, kesamaan keadaan, kesamaan nilai-nilai yang dijunjung, ataupun kesamaan musuh/ancaman. Meskipun pihak yang memberi dan yang diberi dukungan memiliki berbagai perbedaan, tetapi atas dasar kesamaanlah tindakan solidaritas dilakukan.
Ketiga, solidaritas tidak terjadi pada interaksi antarindividu yang sifatnya tertutup, tetapi merupakan hasil dari kegiatan sosial dan politik manusia. Meski tidak mengharap mendapat keuntungan langsung dari pihak yang dibantu, tindakan solidaritas membutuhkan adanya resiprositas tidak langsung pada level tertentu. Nilai solidaritas akan semakin kuat ketika pihak yang berkontribusi mengetahui bahwa di masa depan orang-orang akan mendukungnya juga ketika ia membutuhkan bantuan (Prainsack, 2020).
Sifat terbuka, kesalingan, dan atas dasar kesamaan ini membedakan tindakan solidaritas dengan pemberian pertolongan atau derma pada umumnya. Biasanya pemberian pertolongan atau derma berlangsung searah, sifatnya terbatas antara yang memberi bantuan dan yang dibantu, dan didasarkan atas perbedaan: dari orang yang memiliki sesuatu kepada orang yang kekurangan atas sesuatu.
Sedangkan solidaritas justru terjadi dalam hubungan yang timbal balik dan dibangun di atas kesamaan tujuan atau keadaan. Di dalam tindakan berderma, seseorang memberi apa yang ia punya dan orang lain menerimanya. Di dalam solidaritas, setiap pihak memiliki peran dalam membangun dan mendukung sesuatu yang lebih luas. Itu sebabnya, solidaritas bisa melibatkan khalayak yang lebih luas dengan nilai atau tujuan bersama yang mengikat mereka (Spade, 2020).
Secara umum, kita bisa mendefinisikan solidaritas sebagai “praktik yang mengekspresikan kesediaan untuk mendukung liyan yang kita nilai memiliki kesamaan dengan kita pada aspek yang relevan.” Aspek yang relevan ini tergantung dari konteks di mana tindakan solidaritas dilakukan (Prainsack, 2020).
Pada masa pergerakan kebangsaan, misalnya, tindakan penjajah yang merendahkan martabat dan menyengsarakan kehidupan kaum bumiputra menjadi aspek yang menimbulkan semangat solidaritas untuk melepaskan Nusantara dari penjajahan. Di masa ini, kesulitan yang dialami semua orang di masa pandemi memunculkan solidaritas di masyarakat untuk saling mendukung dan membantu.
Ketiga ciri di atas juga menunjukkan, solidaritas berakar pada tindakan kolektif warga sebagai subjek pembentuk institusi-institusi sosial dan politik. Manusia tak hanya dipengaruhi lingkungannya dan harus menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang ada, tetapi juga berdaya untuk membentuk lingkungan di mana ia berada. Dengan demikian, solidaritas lahir dari partisipasi bersama dalam membangun dan membentuk masyarakat sebagai ruang hidup bersama.
Solidaritas dan Kesehatan Publik
Dengan pengertian di atas, solidaritas menjadi nilai yang sangat dibutuhkan dalam upaya meningkatkan kesehatan publik. Tindakan sederhana, seperti menghindari kontak langsung dengan orang lain saat menderita sakit serta membantu orang lain sehingga dapat melakukan hal yang serupa, sangat membantu dalam mewujudkan kesehatan publik.
Solidaritas sering kali didasarkan atas dasar adanya musuh atau ancaman bersama. Namun logika ini tidak bisa terapkan pada solidaritas sebagai upaya untuk meningkatkan kesehatan publik. Kita tidak bisa menganggap orang sakit sebagai ancaman. Juga bisa diperdebatkan apakah virus bisa disebut sebagai “musuh” manusia.
Umumnya sesuatu kita anggap sebagai musuh ketika ia jahat dan dengan sengaja merusak atau menghancurkan kehidupan manusia. Virus mungkin saja berbahaya bagi manusia, tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa ia memiliki niat jahat atau dengan sengaja membahayakan kesehatan manusia.
Solidaritas untuk mewujudkan kesehatan publik sebaiknya didasarkan pada sifat biologis dan sosial manusia. Kualitas kesehatan manusia sangat tergantung pada kondisi lingkungan di sekitarnya. Manusia tidak bisa hidup sehat jika kondisi lingkungan di mana ia hidup buruk.
Selain itu, sebagai makhluk sosial, manusia hanya bisa tumbuh dan berkembang secara optimal saat hidup bersama manusia lain. Dengan demikian, tidak bisa tidak manusia akan melakukan kontak dengan manusia lain. Itu sebabnya, kesehatan orang-orang di sekitarnya akan berpengaruh pada kesehatan dirinya, dan juga sebaliknya. Karena kesehatan orang-orang di sekitar kita penting bagi kesehatan kita maka mengupayakan mereka menjadi bagian dari upaya menjaga kesehatan kita sendiri.
Pandemi ini mengajarkan bahwa masyarakat yang paling tangguh dalam menghadapi krisis bukanlah masyarakat yang memiliki teknologi paling maju, fasilitas kesehatan paling memadai, atau yang warganya paling taat hukum, tetapi masyarakat yang nilai solidaritasnya paling kuat.
Itu sebabnya, nilai solidaritas perlu dikembangkan, dikukuhkan, atau bahkan dilembagakan dalam masyarakat. Ia tidak cukup hanya menjadi nilai-nilai yang sifatnya spontan, muncul sewaktu-waktu dalam keadaan tertentu, tetapi perlu menjadi nilai yang menjiwai kehidupan sehari-hari masyarakat dan menjadi dasar dari kebijakan publik. Dalam hal ini, tindakan pemerintah memberikan bantuan kebutuhan pokok kepada kalangan yang paling membutuhkan patut diapreasiasi. Meski demikian, solusi untuk jangka yang lebih panjang atas dampak pandemi pada kehidupan ekonomi dan sosial warga perlu juga dipikirkan.
Ke depannya, solidaritas juga perlu diarahkan pada spektrum yang lebih luas, tak hanya antara sesama manusia (anthropocentric solidarity), tetapi pada semua makhluk hidup (biocentric solidarity). Sebagai makhluk biologis, kualitas kehidupan manusia sangat bergantung pada alam. Sebab itu, merusak alam sama saja dengan menghancurkan kehidupan manusia sendiri.
Kita sering menganggap sesuatu yang berasal dari alam liar sebagai ancaman bagi manusia. Dalam kaitan itu pula, kita menganggap virus CoV-SARS-2 sebagai musuh karena menyebabkan kematian banyak orang. Namun, kita bisa bertanya, apakah virus itu memiliki niat jahat dan dengan sengaja menghancurkan kehidupan kita sehingga pantas kita sebut sebagai musuh? Ataukah karena perbuatan kita sendirilah yang menjadi sebab virus itu kemudian menyebar dan menginfeksi manusia?
Dalam kondisi normal, virus Corona bukanlah musuh manusia. Virus itu hidup di hewan liar yang menjadi inang mereka. Berbeda dengan manusia, hewan yang menjadi inang mereka memiliki imunitas terhadap virus itu sehingga tidak sakit. Namun, tindakan manusia sendiri yang membuat kemungkinan ia berkontak dengannya. Penghancuran terhadap alam yang menjadi habitat berbagai jenis hewan dan adanya perdagangan bebas hewan-hewan liar di pasaran, meningkatkan kemungkinan manusia terinfeksi oleh virus berbahaya bagi dirinya (Tomasini, 2021).
Tentu saja kita perlu mengembangkan solidaritas antarmanusia yang sangat dibutuhkan, terutama pada masa pandemi ini. Namun, kita juga perlu mengembangkan solidaritas yang lebih dalam dan luas lagi. Sejarah mencatat, ketidakmampuan manusia untuk menjaga solidaritas terhadap sesama makhluk hidup pada akhirnya menyebabkan bencana bagi kehidupan manusia sendiri.
Baca juga: Politik Kehidupan dalam Bekapan Pandemi